Cerpen : Ketika Allah Membungkam Mulutku . . .

Adzan Shalat Isya’ berkumandang tapi sepertinya telingaku menolak dengan sukses panggilan shalat itu.
Sambil tiduran aku memencet-mencet remote televisi untuk memilih tayangan yang pas dan menarik tapi tak ada tayangan televisi yang pas sesuai keinginanku.
Akhirnya aku beranjak ke kamar yang berada di lantai tiga. Rasanya malas sekali pergi ke sana. Dengan langkah berat bercampur malas, aku berjalan pelan menaiki tangga.


“Mas Ram, nggak shalat?” suara lembut itu tiba-tiba menghentikan langkahku.
“Memangnya kamu sudah Af?” tanyaku sambil menggaruk-nggaruk kepala.


“Aku nggak shalat” jawabnya pelan.
“Aku juga nggak shalat” aku melanjutkan perjalanan menuju kamar meski Afiya memandangku sedikit sinis dan aneh tapi aku tahu bahwa ia tidak suka dengan kelakuanku hari ini.
Afiya adalah adik perempuanku. Usianya satu tahun lebih muda dariku. Mungkin ia sedikit marah denganku karena aku tidak begitu peduli dengannya tadi. Apalagi ketika aku menjawab juga tidak shalat. Entah apa perasaan Afiya saat itu dan aku baru teringat jika adikku ini perempuan yang sudah kelas 2 SMA. Jadi wajar kalau ia tidak shalat. Mungkin ia berhalangan hari ini.


Sebagai seorang kakak, aku merasa malu dengan adikku ini. Kuakui jika Afiya adalah perempuan yang baik dan selalu mengingatkanku untuk shalat Isya’. Ia juga tak bosan mengingatkanku. Seharusnya aku berterima kasih padanya tapi namanya juga manusia. Pasti ada rasa gengsi dalam hati. Tapi sebenarnya aku sangat menyangi adikku itu.


Meski Afiya setiap hari mengingatkanku untuk shalat Isya’ dengan sabar, aku tetap saja tak memperdulikannya. Bagiku shalat Isya’ itu sangat sulit dilaksanakan bahkan lebih sulit dari pada shalat subuh. Aku tahu jika shalat lima waktu itu penting tapi aku malas sekali melaksanakannya bahkan mengambil air wudhu saja, kaki ini rasanya sangat berat untuk melangkah. Seperti ada beton satu ton yang menempel di punggungku.


****


Pagi ini cerah sekali apalagi suasananya sangat langka menurutku karena biasanya awan mendung selalu menghiasi langit dan menutupi sinar mentari. Memang pagi ini sangat cerah tapi wajah Afiya kulihat tidak secerah pagi hari ini. Biasanya ia selalu bersemangat. Suasana di ruang makan jadi lebih aneh karena Afiya tidak seperti biasanya. Ayah dan Ibu juga heran melihatnya. Sesekali Afiya melirikku ketika aku makan tapi ketika aku melihatnya, ia malah memalingkan pandangannya. Aku merasa ada sesuatu yang mau dikatakan Afiya.
“Ada apa Af?” tanyaku sambil mengambil piring dan sendok..
“Nggak ada apa-apa kok” wajah muramnya masih menghiasi dirinya.
“Kalau sakit, nggak usah dipaksain sekolah” ucapku sambil menatap Afiya.
“Tumben peduli sama aku” mendengar ucapan Afiya, aku terdiam dan aku tahu sebenarnya Afiya masih marah denganku karena kejadian semalam. Aku ingin meminta maaf tapi nanti sajalah toh hari ini aku harus berangkat pagi-pagi untuk sekolah karena jadwalnya piket lagi pula Afiya pasti memaafkan aku nanti.



****


Aku sengaja meninggalkan jam pelajaran dan menenangkan pikiranku di masjid sekolah sambil menunggu shalat Dhuhur meski kurang satu jam lagi.
Entah kenapa hari ini aku kurang antusias menerima pelajaran yang diberikan guru-guru. Mungkin karena Afiya masih marah atas kejadian semalam dan aku merasa sangat bersalah pada Afiya. Ingin sekali ku meminta maaf padanya tapi kok rasanya malu sekali untuk mengungkapkannya.
Apakah pakaian sombong ini melekat erat denganku?. Hari ini aku merasa tak tenang jika aku belum meminta maaf pada Afiya.
Rasa bersalah terus menghantuiku hingga tak terasa satu jam aku memikirkannya. Terlihat pak Sutopo guru PKN dan empat guru yang lainnya menuju masjid untuk menunaikan shalat dhuhur. Ketika mereka berlima sampai di masjid, pak Sutopo menyuruhku untuk mengumandangkan adzan. Aku ragu apakah aku bisa atau tidak karena belum pernah aku mengumandangkan adzan. Dengan langkah mantap campur keraguan, aku menuju mihrab untuk mengambil mic dan bersiap mengumandangkan adzan dhuhur.


Ketika aku memulai bertakbir saat Adzan, aku tak menyangka jika aku ini bisa melantunkannya dengan merdu ,
padahal baru pertama kali. Lalu kulanjutkan adzan dan ketika sampai di kalimat “hayyaalashalah” sepertinya ada yang menyumpal mulutku ini sehingga aku mengucapkannya kurang lengkap. “ Hayyalasssst” mendengar Adzan yang ku kumandangankan, kelima guru itu langsung menatapku aneh. Aku semakin grogi dan tegang.
Lalu aku mencoba menenagkan diri dan mengucapkannya untuk kedua kali dan hasilnya sama “ Hayyalasssst” lagi-lagi ada sesuatu yang menghentikanku untuk mengucapkannya. Tidak hanya itu, kelima guru itu melihatku. Tapi biarlah, aku tetap melanjutkan Adzan sampai selesai. Anehnya, hanya kalimat tadi saja yang tidak lengkap kuucapkan.
Seusai shalat dhuhur, aku duduk di teras masjid untuk beristirahat. Kusandarkan diriku di tembok sambil kuselonjorkan kakiku. Lagi-lagi aku merasakan beberapa kejadian aneh.


Yang mengejutkan lagi, aku tak mampu mengucapkan “Hayyalashalah”
Aku menjadi tidak enak dengan guru-guru yang mendengar lantunan adzanku yang aneh itu. Terlintas dibenakku bahwa arti dari “Hayya’lashalah” adalah “ Marilah mendirikan sholat”. aku berpikir sejenak dengan kejadian saat mengumandangkan adzan dhuhur tadi.


“Mungkinkah Allah membungkam mulutku Karena aku belum sepenuhnya mendirikan shalat?. aku bertanya-tanya dalam hati.


Tersadar bahwa kejadian tadi adalah sebuah peringatan untukku. Akhirnya kuambil handphone yang ada di tasku. Jika mulut ini tak mampu terucap, aku berusaha meminta maaf kepada Afiya meski hanya lewat pesan singkat atau SMS.


Tapi rasanya sulit sekali untuk merangkai kata-kata maaf untuknya. Apakah aku tidak berbakat merangkai kalimat ya?
Beberapa jam aku duduk dan memegang Handphone sambil memikirkan kata-kata yang pas untuk meminta maaf kepada Afiya. Sambil menghela nafas, aku memutuskan untuk menggunakan kalimat apa adanya tapi aku tak berani.
“ Ya Allah sungguh sombong hamba-Mu ini” bisikku.


“Tiit..tiiit” Handphoneku berdering kencang. Kulihat ada pesan masuk. Ternyata pesan itu dari Afiya. Suatu kebetulan sekali tapi aku sangat malu karena SMS dari Afiya itu ucapan maaf. Padahal seharusnya aku dulu yang meminta maaf.


“Kakak ku yang keren, sebenarnya Afiya malu untuk mengatakannya tapi Afiya berusaha meminta maaf meski hanya lewat SMS. Maafkan Afiya ya mas? Atas ucapan Afiya yang menyinggung Mas Rama pagi tadi.” Sebuah pesan yang membuatku malu sebagai seorang kakak.
Bahkan pesan yang Afiya sampaikan itu mirip sekali dengan pesan yang akan aku sampaikan kepadanya. Tanpa ragu aku membalas pesan Afiya.


“Maafkan juga ucapanku kemarin malam” Hanya itu yang ku kirim.
“Ya , jangan lupa nanti shalat Isya’” balas Afiya.


“Pasti” Aku membalas SMS itu tanpa ragu sedikit pun


“Allhamdulillah” setelah itu Afiya tidak SMS lagi. Betapa bahagianya hati ini ketika Afiya memaafkanku.
Aku tiba-tiba teringat saat adzan tadi.Ternyata Allah benar-benar membungkam mulutku saat mengumandangkan adzan Sungguh memalukan jika menyeru untuk mendirikan shalat tapi yang menyerukan Adzan itu belum sepenuhnya mendirikan shalat. sebuah peringatan yang cukup pedas bagiku.


Dengan semangat kulangkahkan kakiku menuju parkir untuk mengambil motor kesayanganku. Rencananya nanti malam aku akan membelikan martabak telor kesukaannya.



****


Akhirnya sampai juga di rumah. Tapi ada yang aneh dengan rumahku kali ini. Kelihatannya banyak orang yang berdatangan ke rumahku. Aku teringat bahwa minggu ini adalah giliran arisan di rumah Ibu. Tanpa ragu aku menuju ke rumah sambil menenteng kantong plastik berisi martabak telor.
Pasti Afiya senang. Tapi kenapa ada yang aneh. Lalu aku memasuki rumah dan ternyata orang-orang yang berdatangan itu sepertinya bukan arisan. Tapi sepertinya sedang melayat orang mati.
“Memangnya siapa yang mati?” tanyaku dalam hati. Kulihat Ibu tersedu-sedu menangis dan aku menghampirinya dalam keadaan bingung.


“Ada apa ini bu?” aku tiba-tiba merinding. Entah perasaan apa ini. Lalu ibu memelukku dengan dekapan yang hangat dan erat sekali.. Air mataku tiba-tiba keluar.


“Yang sabar nak..” mendengar ucapan Ibu, air mataku semakin meleleh padahal tadi pagi Ayah sehat-sehat saja tapi mengapa ia pergi begitu cepat. Aku merasa bersalah pada Ayah yang selama ini jarang kuajak bicara dan tidak sempat meminta maaf dengannya. Tapi aku merasa aneh karena aku melihat orang yang mirip Ayah mempersilahkan masuk. Mungkin bukan ayah. Kok hatiku jadi merasa tidak enak?


“Ibu…ibu..ibu…. Ayah nggak meninggal bu” sambil menunjuk-nunjuk ayah yang sedang berdiri di dekat pintu rumah dan tangisku hilang seketika tapi ibu tetap saja menangis dan tangisannya semakin menjadi-jadi.


“A..A..Afiya” ucap Ibu sedikit gagap sambil menahan tangis.


Mendengar itu aku jantungku sepertinya berhenti sejenak sepertinya aku merasa bersalah dengan adikku satu-satunya ini.
Ku buka kain yg manutupi jasad itu, ternyata benar, itu afiya,, adikku yg sangat kucintai..
. . .Sejak saat itu, suara Afiya di malam hari tidak pernah lagi kudengar .
Tapi ketika aku mulai malas untuk shalat Isya’, sepertinya Afiya ada di dekatku dan kata-kata setiap hari itu muncul begitu saja dalam benak ku.
“Mas Ram nggak shalat?”.??




Oleh : Daud Al Insyirah

Sumber  :  Catatan Harist Rasa Vanila on Facebook 

Share:

0 komentar

Teman